Ujrah(fee) pada Qardh(talangan) ONH

Pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia dimulai dari Bank Muamalat Indonesia yang pembentukannya di inisiasi oleh Majlis Ulama Indonesia tahun 1996. Kemudian pasca krisis ekonomi Indonesia tahun 1997-1998 beberapa perbankan syariah bermunculan. Sekarang hampir setiap perbankan konvensional memiliki UUS (Unit Usaha syariah) diantaranya BII syariah, BCA syariah dan BUS (Badan Usaha Syariah) diantaranya Bank Mandiri Syariah, BNI Syariah, Bukopin Syariah.

Perkembangan perbankan syariah di topang oleh fatwa Majlis Ulama Indonesia tentang pengharaman riba dari bunga perbankan syariah. Fatwa ini berlaku pada terhadap semua jenis produk perbankan syariah. Fatwa Dewan Syari’ah Nasioanal no: 02/DSN-MUI/IV/200 tentang tabungan menyatakan bahwa “Tabungan yang tidak dibenarkan secara syari’ah, yaitu tabungan yang berdasarkan perhitungan bunga. Sedangkan tabungan Tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah.

Dengan fatwa DSN-MUI ini memberikan kekuatan hukum dan moril kepada perbankan syariah untuk mengumpulkan Dana Pihak Ketika (DPK) berupa tabungan dan deposito berakad Mudharabah (bagi hasil) dan Wadiah (titipan). Sedangkan untuk pembiyaan perbankan syariah memiliki beberapa produk dan jasa.

Perbankan syariah untuk pembiyaan seperti membeli rumah mobil, barang menggunakan akad jual beli (murabahah). Salah bentuk produk murabahah adalah iB KPR Perbankan Syariah yang bertujuan untuk pembelian rumah bagi masyarakat. Sebagian akad perbankan dalam pembiayaan berakad mudharabah, musyarakah (kerjasama) dan ijarah (sewa). Untuk akad ijarah pihak perbankan mendapatkan ujrah (fee) atas sewa menyewa.

Perkembangan produk perbankan syariah untuk membantu  masyarakat melakukan ibadah haji  adalah qardh ONH atau lebih populer disebut dengan dana talangan haji. Defenisi Qardh dalam Fatwa DSN MUI no 19 tahun 2001 adalah yakni suatu akad pinjaman kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya kepada Lembaga Keuangan Syariah pada waktu yang telah disepakati oleh Lembaga Keuangan Syariah dan nasabah.

Ketika Perbankan syariah memberikan Qardh kepada nasabah maka nasabah memiliki kewajiban untuk mengembalikan sejumlah qardh yang disepakati sebagaimana Dalam fatwa DSN MUI no 19 tahun 2001 bahwa Ketentuan Umum al-Qardh

Al-Qardh adalah pinjaman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh) yang memerlukan.Nasabah al-Qardh wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada waktu yang telah disepakati bersama.Biaya administrasi dibebankan kepada nasabah.LKS dapat meminta jaminan kepada nasabah bilamana dipandang perlu.Nasabah al-Qardh dapat memberikan tambahan (sumbangan) dengan sukarela kepada LKS selama tidak diperjanjikan dalam akad.Jika nasabah tidak dapat mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada saat yang telah disepakati dan LKS telah memastikan ketidakmampuannya, LKS dapat:

dalam ketentuan Qardh yang nasabah berkewajiban membayar biaya administrasi yang dikeluarkan untuk melakukan akad Qard. Biaya administrasi ini berupa, biaya matrei, notaris, kertas dan biaya lainnya yang melingkupi akad tersebut.

Nasabah Qardh dapat memberikan tambahan secara sukarela dimana tidak di perjanjukan dalam akad antara perbankan syariah dengan nasabah. Jika perbankan menetakan Ujrah (fee) maka masuk pada riba. Ketika masuk pada riba maka masuk kategori haram dalam hukum Islam tentang Dana talangan haji yang dikeluarkan oleh perbankan syariah.

Penutup

Kajian tentang ujrah (fee) untuk qardh (dana talangan) masih dalam kajian beberapa ahli ekonomi Islam. Sebagian mengatakan masih ada aqad lainnya tidak menjadikan ada ujrah. Wallau’alam bishawab.

***

Catatan: Tulisan ini bagian dari pembahasan mata kuliah Fiqh Muamalah di Magister Ekonomi Syariah Universitas Azzahra. Tertanggal Rabu, 16 November 2011

0 komentar:

Posting Komentar